CONTOH
STRATEGI PENGEMBANGAN E-LEARNING
Model
E-Learning Readiness
Sebagai
Strategi Pengembangan E-Learning-Jurnal (Oleh Priyanto)
Dengan kreatifitas,
inisiatif, dan pemikiran pendidik yang selalu peka dan respon terhadap
perkembangan teknologi dan pengetahuan serta kebutuhan yang membutuhkan
pemenuhan dengan cara yang tepat dan optimal. Maka perkembangan akan dijadikan
sebagai acuan dan lintasan untuk menemukan alternative lain maupun
pengemabangan pada sesuatu hal menjadi sesuatu yang memiliki esensi lainya
lagi. Priyanto mengemabangkan e-learning pada penerapan model readness.
Dijelaskan Mengenai
Program:
MODEL
ELR DALAM PENGEMBANGAN
E-LEARNING
Pengembangan e-learning melibatkan
beberapa aspek yaitu: (1) infrastruktur teknologi; (2) sumber daya; dan (3)
lingkungan. Setiap entitas memiliki peran yang berbeda tetapi konvergen untuk
menciptakan suatu sistem.
Infrastruktur teknologi terdiri dari hardware dan software. Hardware meliputi
ketersediaan komputer, jaringan intranet, dan koneksi Internet. Learning Management System (LMS)
merupakan software utama
untuk e-learning yang dirancang untuk menangani proses komunikasi antara dosen
dan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Untuk menangani infrastruktur
teknologi ini diperlukan unit khusus (administrator) yang memberi layanan
teknis untuk menangani sistem secara keseluruhan dan berkelanjutan.
Sumber
Daya Manusia terdiri dari Dosen dan mahasiswa. Dosen bertugas untuk menyediakan
konten pembelajaran dalam format digital dan melakukan evaluasi. Mahasiswa
bertugas untuk mengakses konten pembelajaran, mengerjakan tugas, dan
mengerjakan test.
Lingkungan terdiri dari kepemimpinan dan
kultur (Psycharis, 2005), merupakan faktor yang sangat penting dalam kesuksesan
e-learning. Di sini peran pemimpin sangat penting dalam menciptakan kultur yang
kondusif dalai imlementasi e-learning, bukan sebaliknya, kultur menciptakan
kepemimpinan. Salah satu metode pengembangan e-learning adalah ADDIE (Analysis– Design–Development–Implementation–Evaluate)
(http.en.wikipedia.org). Dari lima tahapan ini, yang paling berat adalah tahap
anailisis, karena harus dilakukan secara cermat dan komprehenfip. Tahap ini
akan menentukan keberhasilan yang dilakukan tahap di belakangnya, seperti motto
dalam manajemen: “if
you fail to plan, you are planning to fail”.
Chapnick (2000) dan Gold dalam Aydm (2005) memperingatkan bahwa harus
berhati-hati dalam proses adopsi e-learning untuk suatu organisasi. Mereka menagaskan
bahwa adopsi e-learning tanpa perencanaan yang cermat kemungkinan besar akan
berakhir dengan cost overruns,
produk pembelajaran yang tidak menarik, dan kegagalan.
Dari
pengalaman penulis di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan pendampingan di
Sekolah Menengah dalam menangani hibah yang terkait dengan e-learning, tahap
yang paling lemah adalah tahap analisis. Sehingga hasil evaluasi menunjukkan
bahwa sangat sedikit dosen yang memanfaatkan e-learning, walaupun infrastruktur
teknologi sudah tersedia dan pelatihan sudah dilaksanakan. Kegagalan ini bukan
para pelaksana di lapangan, tetapi pada persyaratan hibah yang tidak menuntut
analisis yang komprehensip. Oleh sebab itu diperlukan instrumen evaluasi dalam
setiap tahapan dalai pengembangan elearning. Rosenberg (2000) menyatakan bahwa
model e-learning
readiness menjadi
instrumen yang sangat efektif untuk melakukan evaluasi efektifitas strategi
organisasi dalam mengembangan e-learning dan sebagai dasar evaluasi dari
efektifitas program e-learning.
Model e-leaning readiness
dipandang tepat sebagai instrumen yang “mengawal” perjalanan pengembangan
elearnig dari tahap analisis sampai pada tahap evaluasi. Pada pengembangan
e-learning diperlukan data prakondisi sebelum program diterapkan. Tahap
analisis bertugas menyiapkan data prakondisi yang mencakup semua aspek yang
akan mempengaruhi keberhasilan e-learning, diwujudkan dalam dokumen analisis
kebutuhan.
Pada tahapan analisis (Chapnick, 2000)
menyatakan bahwa sebelum mengimplementasikan program e-learning, organisasi
perlu melakukan analisis kebutuhan dengan memuat dukumen kebutuhan (requirements document)
yang mencakup: (1) sasaran (sasaran makro organisasi dan saranan mikro pembelajaran);
(2) skor kesiapan e-learning; (3) daftar keuntungan dan kendala dalam
mengadopsi e-learning; dan (4) daftar kemungkinan konfigurasi e-learning. Dari
skor kesiapan e-learning tahap analisis akan diperoleh area mana yang dipandang
sudah siap dan area mana yang lemah, data ini digunakan sebagai base line untuk tahap berikutnya.
Oleh sebab itu, pada tahap desain, pengembangan, dan implementasi harus
memperbaiki pada area yang lemah. Sebagai contoh, apabila dipandang lemah dari
sisi kompetensi Dosen, maka perlu diadakanpelatihan. Tetapi apabila semua dosen
sudah memiliki kompetensi yang cukup tidak perlu diadakan pelatihan, untuk
penghematan biaya.
Pada tahap evaluasi program, model e-learning readiness dapat
digunakan sebagai instrumen evaluasi. Dari hasil evaluasi dapat diketahui
apakah implementasi e-learning berhasil atau gagal, dilihat dari adanya
peningkatan skor atau tidak. Dari hasil evaluasi dapat dideteksi apakah area
yang lemah sudah dapat diperbaiki. Hasil evaluasi ini selanjutnya digunakan
sebagai recycling
decission untuk
proses perbaikan pada periode berikutnya.
Model ELR tidak hanya digunakan selama
proses pengembangan, atau selama periode hibah (misal dua tahun). Tetapi
sebaiknya digunakan seara terus menerus untuk menjaga keberlangsungan program
adopsi e-learning. Sebagai contoh program penilaian ELR yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit
yang mengukur kesiapan e-lelarning negara-negara di dunia, dapat di adopsi
untuk lingkup sekolah atau perguruan tinggi.
Model ELR yang diusulkan Cahpnick telah
digunakan oleh Ministry of Education
(MOE) Singapura dalam perencanaan
pengembangan e-learning di sekolah-sekolah
di Singapura (Swatman, 2006). Hasilnya, dapat dilihat pada peringkat ELR yang
dipublikasikan pada tahun 2003 (EIU, 2003), dimana Singapura menduduki
peringkat 5 dan Indonesia pada peringkat 52 dari 60 negara. Kasus di Singapura ini
dapat menjadi contoh yang baik bagi pengembangan e-learning di
Indonesia. Hongkong yang dapat disejajarkan dengan Singapura menempati peringkat 19
pada tahun yang sama, dan memuji Singapura dalai strategi pengembangan
e-learning.
Pengembangan e-learning di institusi
pendidikan melibatkan banyak faktor dalam organisasi, yaitu infrastruktur
teknologi, sumber daya manusia, dan lingkungan yang mencakup kepemimpinan dan
kultur.
Model e-learning readiness
merupakan manifestasi dari kesiapan seluruh komponen organisasi untuk
mengadopsi e-learning. Model e-learning
readiness tidak hanya untuk mengukur tingkat
kesiapan institusi untuk mengimplemantasikan e-learning. Tetapi yang lebih
penting adalah dapat mengungkap faktor atau area mana masih lemah dan
memerlukan perbaikan dan area mana sudah dianggap berhasil atau kuat dalam
mendukung
implementasi
e-learning.
Model e-learning readiness pada
tahap analisis digunakan untuk menyusun dokumen kebutuhan yang menjadi base line untuk tahap
desain, pengembangan, dan implementasi. Pada tahap evaluasi, model e-learning readiness digunakan
untuk mengukur keberhasilan dan menentukan recycling decission untuk
proses perbaikan pada periode berikutnya.
Sumber
: Priyanto. Model E-Learning Readiness Sebagai
Strategi Pengembangan E-Learning-Jurnal (Oleh Priyanto).yogyakarta:UNY.pdf
Download filenyahttp://www.ziddu.com/download/21157863/priyanto.pdf.html di :
0 komentar:
Posting Komentar