Kamis, 20 Desember 2012

Memahami E-learning

MEMAHAMI E- LEARNING
 



Paradigma baru yang menjadikan peserta didik sebagai active learner tersebut saat ini mendapatkan sarana yang sesuai untuk diimplementasikan pada system pendidikan di Indonesia dengan keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK). TIK mampu berperan dalam menghasilkan berbagai produk bahan belajar yang jauh lebih menarik untuk dipelajari, memiliki unsur interaktif yang tinggi, dan mudah dipahami oleh peserta didik. Segala kelebihan tersebut dapat mempercepat proses belajar mereka. Lebih dari itu TIK juga mampu mengantarkan berbagai bahan belajar tersebut ke hadapan peserta didik tanpa batasan jarak dan waktu dengan adanya internet sebagai medianya.
Dengan adanya TIK maka telah muncul berbagai model pembelajaran baru dalam
dua dekade terakhir. Contoh model tersebut antara lain:
1. Computer Based Learning/Training (CBL/ CBT)
Model CBL/CBT berkembang sekitar pertengahan tahun 1990-an. Saat itu
berbagai pelatihan atau kelas menyediakan berbagai bahan belajar berupa modul
elektronik baik berupa perangkat lunak edukasi maupun softcopy dari berbagai
modul cetak yang sudah ada sebelumnya. Bentuk ini di kemudian hari dikenal
sebagai e-book dan berkembang semakin pesat berkat adanya format file pdf dari
Adobe.
Pada era tersebut CBL/CBT sendiri berkembang pada komputer stand-alone dan
belum terhubung dengan internet. Biasanya pembelajaran dengan model
CBL/CBT adalah untuk penyiapan tenaga ahli pada suatu bidang yang
memerlukan pelatihan terlebih dahulu sebelum menempati posisinya. Perangkat
lunak simulasi membantu peserta didik melakukan simulasi atas pekerjaan yang
hendak dilakukan. Dengan simulasi maka proses belajar menjadi lebih mudah dan
biaya pun bisa ditekan lebih murah dibandingkan apabila mereka harus
mempraktekkan sendiri pada peralatan yang sebenarnya. Modul elektronik
mempermudah peserta untuk mempelajari secara mandiri materi yang harus
dipelajari dan tidak memerlukan biaya cetak yang tinggi.
2. Web-based Learning
Dengan semakin luasnya perkembangan internet maka perkembangan selanjutnya adalah terjadinya perluasan akses terhadap bahan-bahan belajar CBL/CBT di atas. Berbagai perangkat lunak edukasi ataupun softcopy dari modul, diktat, dan berbagai buku elektronik (e-book) lainnya yang semula didistribusikan dalam bentuk disket atau CD mulai membanjiri internet. Dengan melakukan upload berbagai referensi dan bahan belajar di internet berarti membuka akses dari seluruh penjuru dunia terhadap berbagai bahan belajar tersebut. Para pengguna internet pun bisa mempelajari apa saja dari berbagai situs web yang tersedia.
Demikian pula para penyelenggara pendidikan mulai memanfaatkan internet untuk memperluas layanan mereka pada siapapun yang ingin menjadi peserta didiknya. Berbagai kelas dan pelatihan bisa diikuti hanya dengan melakukan berbagai download terhadap bahan belajar elektronik, berdiskusi dengan dosen melalui email atau forum-forum diskusi online, dan mengikuti ujian secara online di internet. Setelah lulus sang peserta didik tinggal menunggu ijazah atau sertifikat yang terkirim ke alamatnya. Model inilah yang dikenal sebagai Web-based learning, sebuah model pembelajaran jarak jauh (distance learning) yang menggunakan internet sebagai sarananya.
3. Mobile Learning
TIK tidak hanya terbatas pada penggunaan komputer saja. Berbagai model
pembelajaran yang menggunakan peralatan TIK lainnya seperti misalnya telepon genggam pun saat ini telah mulai berkembang. Dengan berbagai fitur dan teknologi yang dimiliki telepon genggam saat ini telah melahirkan sebuah model pembelajaran baru yang dikenal sebagai mobile learning (m-learning). Aktifitas utama pada M-learning adalah mendistribusikan bahan belajar kepada peserta didik agar dapat diakses menggunakan perangkat komunikasi portabel semacam telepon genggam atau PDA.
Berbagai bentuk model pembelajaran dengan berbasiskan TIK seperti tersebut di atas itulah yang dikatergorikan sebagai bagian dari pembelajaran secara elektronik atau lebih dikenal sebagai e-learning. Tidak mudah untuk mendefinisikan e-learning karena begitu banyaknya pendapat yang beredar, beberapa di antaranya antara lain adalah:
Allan J. Henderson (2003) e-learning is learning at a distance that uses computer technology (usually the Internet).
 e-learning enables employees to learn at their work computers without traveling to a classroom.
 e-learning can be a scheduled session with an instructor and other students, or it
can be an on-demand course that the employee can take for self-directed learning at a time when it’s convenient.
Badrul Khan (2005) termuat pada Adri (2008)
 e-learning can be viewed as an innovative approach for delivering welldesign,learner-centered, interactive, and facilitated learning environment to anyone, anyplace, anytime by utilizing the attributes and resources of various digital technologies along with other form of learning materials suited for open, flexible and ditributed learning environtment.
Darin E. Hartley (2001) termuat pada Wahono (2003)
 e-learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet, intranet atau media jaringan komputer lain.
Sering terdapat perdebatan apakah penggunaan istilah e-learning untuk pembelajaran yang menggunakan TIK justru mengingkari penggunaan huruf e di depan kata learning tersebut yang berasal dari kata “electronic”. Hal ini mengingat banyak perangkat elektronik lain yang secara kelompok bukan merupakan sarana TIK semacam televisi, radio, dan VCD/DVD juga banyak digunakan sebagai sarana pembelajaran. Dalam opini penulis tanpa menafikan media elektronik lainnya semacam televisi dan radio, terminologi e-learning bisa dikatakan telah identik dengan TIK. Sementara pembelajaran dengan menggunakan media semacam video dan televise lebih sesuai mengacu pada istilah multimedia learning. Perdebatan lainnya adalah apakah yang disebut sebagai e-learning harus selalu mengacu pada pembelajaran dengan internet (Nugraha, 2007).
Kategori e-Learning
A. Interaksi antara Sistem dan Manusia
Ditinjau dari segi interaksi antara sistem dengan manusia maka ada tiga kategori
dasar dari e-learning, yaitu:
 Synchronous Learning
 Self-directed Learning
 Asynchronous (collaborative) Learning
Masing-masing kategori tersebut pada dasarnya mengacu pada bagaimana perasaan seorang peserta didik pada saat melakukan proses pembelajaran dengan sistem e-learning. Perasaan tersebut dapat berupa perasaan terisolasi, atau menjadi bagian dari sebuah kelompok. Apabila menjadi bagian dari sebuah kelompok bagaimanakah komunikasi dan interaksi yang terjadi pada kelompok tersebut.

B. IBM 4-Tier Learning Model
IBM 4-Tier Learning Model adalah sebuah framework untuk penerapan e-learning di dalam sebuah organisasi. IBM sebagai salah satu perusahaan terbesar dan tertua pada bidang teknologi informasi menerapkan framework ini pada sistem pelatihan staf di internal perusahaan. Gambaran dari 4-Tier Learning Model dapat dilihat pada gambar berikut ini: Pada dasarnya IBM 4-Tier Model adalah kategorisasi cara belajar yang terdiri dari 4 tingkatan, yaitu:
1. Learn from information
Pada tier ini seorang peserta didik belajar secara mandiri (self-directed) menggunakan berbagai bahan belajar yang sesuai untuk kebutuhannya. Tier ini sesuai untuk proses belajar mengajar yang peserta didiknya mampu melakukan konstruksi sendiri atas pengetahuan yang dipelajarinya tanpa bantuan dari sesama peserta didik maupun instruktur.
2. Learn from interaction
Pada tier ini peserta didik belajar secara mandiri dari berbagai bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Berbeda dengan tier sebelumnya, pada tier ini peserta didik juga berinteraksi secara aktif dengan bahan belajar tersebut. Tier ini lebih banyak diterapkan pada proses pembelajaran yang bersifat simulatif di mana peserta didik dituntut untuk selalu “berkomunikasi” dengan bahan belajar.
3. Learn from Collaboration
Pada tier ini peserta didik menggunakan e-learning secara bersama dan terhubung secara online dengan peserta didik lainnya serta instruktur via jaringan atau internet. Berbagai media yang bisa digunakan semacam chat room, email dan

MEMBANGUN E-LEARNING
Menurut Henderson ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk membangun sebuah sistem e-learning:
1. Menentukan Tujuan dari Sistem e-learning
Pada tahap ini pengembang sistem harus menentukan apa yang ingin dicapai dengan adanya e-learning tersebut. Tahap ini biasanya dengan mudah dilupakan akibat antusiasme berlebihan dari pengembang sistem e-learning. Pada akhirnya e-learning tersebut tidak akan sesuai dengan kebutuhan calon pengguna dan tidak memberikan hasil yang diharapkan.
2. Memulai Sistem dalam Skala Kecil
Beberapa pengembang memilih untuk memulai sistem e-elarning langsung pada skala besar. Hal ini kurang baik ditinjau dari segi manajemen resiko karena proyek dalam skala besar juga memiliki resiko kegagalan yang besar pula. Sebaiknya e-learning dimulai terlebih dahulu pada sebuah unit yang kecil dan dievaluasi sepenuhnya terlebih dahulu untuk menjadi model bagi sistem dalam
skala yang lebih besar.
3. Mengkomunikasikan dengan Peserta Didik
Menerapkan sebuah sistem baru akan memberikan tingkat keberhasilan lebih baik apabila sasaran dari sistem tersebut memahami dengan baik sistem tersebut. Demikian pula dengan e-learning, apabila peserta didik memahami tentang system yang dibangun dan dikembangkan maka mereka dapat turut memberikan bantuan untuk mencapai tujuan e-learning tersebut. Didasari alasan tersebut maka pengembang sistem e-learning seharusnya selalu mengkomunikasikan sistem yang sedang coba dibangun kepada peserta didik.
4. Melakukan Evaluasi secara Kontinyu
Evaluasi terhadap sistem dan segenap aspeknya perlu dilakukan secara terus menerus untuk menjamin keberhasilan penerapan e-learning. Membandingkan hasil belajar peserta didik dengan pembelajaran secara konvensional dapat memberikan justifikasi apakah sistem e-learning yang dikembangkan memenuhi standar keberhasilan proses pembelajaran atau tidak.
5. Mengembangkan sistem dalam skala lebih besar
Setelah sistem mencapai keberhasilan dalam skala kecil maka selanjutnya adalah mengembangkan sistem dalam skala lebih besar. Menambah jumlah peserta didik, mata pelajaran, model evaluasi dan berbagai aspek pembelajaran lainnya dapat dilakukan dengan mengacu model dari skala yang lebih kecil yang telah dikembangkan sebelumnya. Seperti tampak pada gambar berikut ini:
Memulai Sistem dari Skala Kecil dan Memperluasnya Secara Bertahap

0 komentar:

Posting Komentar