Kamis, 20 Desember 2012

Model E-Learning Readness

CONTOH STRATEGI PENGEMBANGAN E-LEARNING

Model E-Learning Readiness
Sebagai Strategi Pengembangan E-Learning-Jurnal (Oleh Priyanto)

Dengan kreatifitas, inisiatif, dan pemikiran pendidik yang selalu peka dan respon terhadap perkembangan teknologi dan pengetahuan serta kebutuhan yang membutuhkan pemenuhan dengan cara yang tepat dan optimal. Maka perkembangan akan dijadikan sebagai acuan dan lintasan untuk menemukan alternative lain maupun pengemabangan pada sesuatu hal menjadi sesuatu yang memiliki esensi lainya lagi. Priyanto mengemabangkan e-learning pada penerapan model readness.
Dijelaskan Mengenai Program:
MODEL ELR DALAM PENGEMBANGAN
E-LEARNING
Pengembangan e-learning melibatkan beberapa aspek yaitu: (1) infrastruktur teknologi; (2) sumber daya; dan (3) lingkungan. Setiap entitas memiliki peran yang berbeda tetapi konvergen untuk menciptakan suatu sistem.
Infrastruktur teknologi terdiri dari hardware dan software. Hardware meliputi ketersediaan komputer, jaringan intranet, dan koneksi Internet. Learning Management System (LMS) merupakan software utama untuk e-learning yang dirancang untuk menangani proses komunikasi antara dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Untuk menangani infrastruktur teknologi ini diperlukan unit khusus (administrator) yang memberi layanan teknis untuk menangani sistem secara keseluruhan dan berkelanjutan.
 Sumber Daya Manusia terdiri dari Dosen dan mahasiswa. Dosen bertugas untuk menyediakan konten pembelajaran dalam format digital dan melakukan evaluasi. Mahasiswa bertugas untuk mengakses konten pembelajaran, mengerjakan tugas, dan mengerjakan test.
Lingkungan terdiri dari kepemimpinan dan kultur (Psycharis, 2005), merupakan faktor yang sangat penting dalam kesuksesan e-learning. Di sini peran pemimpin sangat penting dalam menciptakan kultur yang kondusif dalai imlementasi e-learning, bukan sebaliknya, kultur menciptakan kepemimpinan. Salah satu metode pengembangan e-learning adalah ADDIE (Analysis– Design–Development–Implementation–Evaluate) (http.en.wikipedia.org). Dari lima tahapan ini, yang paling berat adalah tahap anailisis, karena harus dilakukan secara cermat dan komprehenfip. Tahap ini akan menentukan keberhasilan yang dilakukan tahap di belakangnya, seperti motto dalam manajemen: “if you fail to plan, you are planning to fail”. Chapnick (2000) dan Gold dalam Aydm (2005) memperingatkan bahwa harus berhati-hati dalam proses adopsi e-learning untuk suatu organisasi. Mereka menagaskan bahwa adopsi e-learning tanpa perencanaan yang cermat kemungkinan besar akan berakhir dengan cost overruns, produk pembelajaran yang tidak menarik, dan kegagalan.
 Dari pengalaman penulis di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan pendampingan di Sekolah Menengah dalam menangani hibah yang terkait dengan e-learning, tahap yang paling lemah adalah tahap analisis. Sehingga hasil evaluasi menunjukkan bahwa sangat sedikit dosen yang memanfaatkan e-learning, walaupun infrastruktur teknologi sudah tersedia dan pelatihan sudah dilaksanakan. Kegagalan ini bukan para pelaksana di lapangan, tetapi pada persyaratan hibah yang tidak menuntut analisis yang komprehensip. Oleh sebab itu diperlukan instrumen evaluasi dalam setiap tahapan dalai pengembangan elearning. Rosenberg (2000) menyatakan bahwa model e-learning readiness menjadi instrumen yang sangat efektif untuk melakukan evaluasi efektifitas strategi organisasi dalam mengembangan e-learning dan sebagai dasar evaluasi dari efektifitas program e-learning.
Model e-leaning readiness dipandang tepat sebagai instrumen yang “mengawal” perjalanan pengembangan elearnig dari tahap analisis sampai pada tahap evaluasi. Pada pengembangan e-learning diperlukan data prakondisi sebelum program diterapkan. Tahap analisis bertugas menyiapkan data prakondisi yang mencakup semua aspek yang akan mempengaruhi keberhasilan e-learning, diwujudkan dalam dokumen analisis kebutuhan.
Pada tahapan analisis (Chapnick, 2000) menyatakan bahwa sebelum mengimplementasikan program e-learning, organisasi perlu melakukan analisis kebutuhan dengan memuat dukumen kebutuhan (requirements document) yang mencakup: (1) sasaran (sasaran makro organisasi dan saranan mikro pembelajaran); (2) skor kesiapan e-learning; (3) daftar keuntungan dan kendala dalam mengadopsi e-learning; dan (4) daftar kemungkinan konfigurasi e-learning. Dari skor kesiapan e-learning tahap analisis akan diperoleh area mana yang dipandang sudah siap dan area mana yang lemah, data ini digunakan sebagai base line untuk tahap berikutnya. Oleh sebab itu, pada tahap desain, pengembangan, dan implementasi harus memperbaiki pada area yang lemah. Sebagai contoh, apabila dipandang lemah dari sisi kompetensi Dosen, maka perlu diadakanpelatihan. Tetapi apabila semua dosen sudah memiliki kompetensi yang cukup tidak perlu diadakan pelatihan, untuk penghematan biaya.
Pada tahap evaluasi program, model e-learning readiness dapat digunakan sebagai instrumen evaluasi. Dari hasil evaluasi dapat diketahui apakah implementasi e-learning berhasil atau gagal, dilihat dari adanya peningkatan skor atau tidak. Dari hasil evaluasi dapat dideteksi apakah area yang lemah sudah dapat diperbaiki. Hasil evaluasi ini selanjutnya digunakan sebagai recycling decission untuk proses perbaikan pada periode berikutnya.
Model ELR tidak hanya digunakan selama proses pengembangan, atau selama periode hibah (misal dua tahun). Tetapi sebaiknya digunakan seara terus menerus untuk menjaga keberlangsungan program adopsi e-learning. Sebagai contoh program penilaian ELR yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit yang mengukur kesiapan e-lelarning negara-negara di dunia, dapat di adopsi untuk lingkup sekolah atau perguruan tinggi.
Model ELR yang diusulkan Cahpnick telah digunakan oleh Ministry of Education (MOE) Singapura dalam perencanaan pengembangan e-learning di sekolah-sekolah di Singapura (Swatman, 2006). Hasilnya, dapat dilihat pada peringkat ELR yang dipublikasikan pada tahun 2003 (EIU, 2003), dimana Singapura menduduki peringkat 5 dan Indonesia pada peringkat 52 dari 60 negara. Kasus di Singapura ini dapat menjadi contoh yang baik bagi pengembangan e-learning di Indonesia. Hongkong yang dapat disejajarkan dengan Singapura menempati peringkat 19 pada tahun yang sama, dan memuji Singapura dalai strategi pengembangan e-learning.
Pengembangan e-learning di institusi pendidikan melibatkan banyak faktor dalam organisasi, yaitu infrastruktur teknologi, sumber daya manusia, dan lingkungan yang mencakup kepemimpinan dan kultur.
Model e-learning readiness merupakan manifestasi dari kesiapan seluruh komponen organisasi untuk mengadopsi e-learning. Model e-learning readiness tidak hanya untuk mengukur tingkat kesiapan institusi untuk mengimplemantasikan e-learning. Tetapi yang lebih penting adalah dapat mengungkap faktor atau area mana masih lemah dan memerlukan perbaikan dan area mana sudah dianggap berhasil atau kuat dalam mendukung
implementasi e-learning.
Model e-learning readiness pada tahap analisis digunakan untuk menyusun dokumen kebutuhan yang menjadi base line untuk tahap desain, pengembangan, dan implementasi. Pada tahap evaluasi, model e-learning readiness digunakan untuk mengukur keberhasilan dan menentukan recycling decission untuk proses perbaikan pada periode berikutnya.

Sumber : Priyanto. Model E-Learning Readiness Sebagai Strategi Pengembangan E-Learning-Jurnal (Oleh Priyanto).yogyakarta:UNY.pdf


0 komentar:

Posting Komentar